Minggu, 22 Desember 2013

Surat Buat Anakku

Nak, maafkan ibu yang saat ini tidak bisa selalu di samping kamu. Ibu kangen sekali, Nak. Rindu yang sedalam-dalamnya. Ibu harus menyelesaikan urusan di tempat yang jauh dari tempat kamu sekarang. Dengan jadwal yang lumayan padat.

Ibu masih ingat kebiasaan-kebiasaan kamu, juga jam-jam kamu terbangun. Kadang dalam tidur ada kamu diam-diam mengintip di sela bunga tidur. Dan kadang masih ada sisa-sisa air mata Ibu di sarung bantal ketika tengah malam terbangun karena mendadak rindu ini tak tertahankan.

Ibu tahu kamu juga sempat merasa kehilangan. Kamu pasti bingung. Maafkan ibu karena harus pergi di saat umur kamu belum memungkinkanmu untuk mengerti. Tapi Ibu bersyukur telah dianugrahkan anak yang cerdas seperti kamu. Secerdas senyuman yang selalu kamu berikan untuk orang-orang di sekitarmu. Secerdas senyuman yang selalu kamu berikan di depan kamera yang hasilnya tak pernah lupa dikirimkan Bapak buat Ibu. Secerdas senyuman yang kamu hadirkan di bibir kecil itu untuk mengusir tangismu ketika kamu melihat foto ibu yang tertempel di kaca lemari biru.

Maafkan ibu jika belum bisa memberimu kasih sayang yang sama seperti dulu. Doa ibu tidak putus-putus buat kamu, Nak. Cuma doa yang bisa mengalihkan rasa kangen ibu. Semoga tidak ada sesuatu apapun yang bisa mengusir senyum itu dari bibir mungilmu.

Ibu sayang kamu.

Rabu, 30 Mei 2012

Notes buat Calon Ibu

Saya adalah seorang ibu yang baru melahirkan dengan usia bayi 3 bulan. Pengalaman pribadi mengajak saya ingin berbagi hal-hal seputar kelahiran. Buat orang lain mungkin sepele, buat saya ini penting.

 Ada banyak hal yang tidak bisa diutarakan secara gamblang. Konon manusia punya etika dan estetika dalam kehidupan. Siapapun yang meninggalkan kedua hal tersebut, dicap tidak beradab. Harusnya manusia ingat, ada hal-hal yang tidak bisa dibungkus dengan etika maupun estetika. Berjalan secara alami dan naluriah sesuai hukum alam, sesuai kebesaran Ilahi. Contohnya: melahirkan.

 Saya merasakan keajaiban itu ketika merasakan perubahan fisik dan mental sejak tubuh saya baru ditumpangi janin hingga janin itu lahir dan berkembang entah melalui naluri kemanusiaan, insting, atau hal lain yang saya kurang tahu namanya (apapun namanya, saya yakin bahwa ada sesuatu dalam tubuh kita yang punya peran besar dalam membentuk insting, yang cara kerjanya ribuan kali lebih cepat dari otak). Saya sangat percaya logika dan paling sulit menerima jawaban nak mule keto* atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala. Sekarang saya sadar kalau “nak mule keto” adalah jawaban paling pas untuk perempuan dengan kondisi:
  1. Punya keinginan yang agak berbeda ketika hamil. Orang Indonesia sepakat mengistilahkan kondisi seperti ini dengan “ngidam”. Beberapa orang yang ahli di bidang kebidanan menduga bahwa ini sugesti. Buat saya ngidam tidak sesimpel sugesti. Tubuh kita terdiri dari banyak sel. Sel-sel itu punya makanannya sendiri-sendiri. Sel-sel yang lapar, akan mempengaruhi kerja otak untuk mencari makanan yang dibutuhkan sel. Sampai sel yang membutuhkan makanan tertentu itu kenyang, dia tidak akan berhenti mempengaruhi otak untuk tetap mencari, walaupun yang dicari belum tentu sesuai dengan selera. Selera cuma sesuatu yang dibentuk oleh etika dan estetika. Kembali ke paragraf 2, proses untuk melahirkan tidak ada hubungannya dengan etika, apalagi estetika.
  2. Merasa tidak menjadi diri sendiri. Seperti tiba-tiba emosi, perasaan labil, tingkah ababil, pikiran galau, dsb.
  3. Secara naluriah protektif dengan kandungan maupun anaknya. Jangankan manusia, kucing yang baru beranak pasti ngamuk ketika diganggu.
  4. Sangat rentan dengan kesehatan psikologis. Untuk itu, biarkan calon Ibu memilih sendiri DIMANA, KAPAN dan BAGAIMANA dia akan melahirkan serta merawat anaknya nanti.  Yang lain hanya boleh memberi saran dan masukan. Bukan PERINTAH! Tolong kesampingkan cara berpikir lama yang mengagung-agungkan nilai kesopanan saat menerima tamu sehabis melahirkan dengan senyum yang dibuat-buat untuk menutupi sulit dan repotnya bergerak sambil menahan sakitnya jahitan pasca melahirkan. Apalagi si bayi dipegang-pegang, dibawa kemana-mana oleh sembarang orang yang belum tentu dikenal. Secara naluriah sifat keibuan pasti mendorong untuk berontak bila dihadapkan dengan situasi seperti itu.
  5. Butuh perhatian. Ada salah seorang kerabat yang pernah bilang (dan kata-katanya berhasil membuat saya sembuh dari gangguan secara psikologis) bahwa Ibu yang habis melahirkan itu secara fisik dan mental kondisinya “kosong”. Butuh suasana. Kalau dibiarkan terlalu lama, bisa membuat si Ibu gampang kecil hati, tiba-tiba menangis, bahkan ada yang punya keinginan bunuh diri. Sangat bijak jika kita mau mendengarkan dan memenuhi keinginannya, ada yg ingin ditemani, ada juga yg ingin dibiarkan punya waktu sendiri.
  6. Setiap perempuan dan setiap kehamilan itu BERBEDA. Kalau ada orang lain yang kehamilannya lancar, sukses melahirkan, mengalami masa penyembuhan yang cepat, atau yang perkembangan bayinya mengalami akselerasi dengan bukti sudah bisa ini-itu di usia sekian bulan, jangan pernah menyamakan apalagi membanding-bandingkan antar Ibu hamil! Yang paling tahu kondisi fisik dan psikis Ibu hamil adalah dirinya sendiri. Lupakan rasa engga enakan dengan orang lain, biarpun itu suami, mertua, dokter kandungan, tetangga, siapapun. Beri pengertian kalau Ibu-ibu melahirkan memang “nak mule keto”. Membiarkan mereka membandingkan atau mempraktekkan cara apapun buat kita di luar keinginan kita hanya akan berakhir dengan Baby blues.
Sekian hasil pengamatan setelah melahirkan anak pertama. Sepertinya lebih tepat ditujukan untuk orang-orang yang mendampingi calon Ibu. Mudah-mudahan bermanfaat. Kalau ternyata banyak ditemukan perbedaan dalam kehidupan sehari-hari, kembali ke nomor 6: Setiap perempuan dan setiap kehamilan itu BERBEDA. Harap maklum. Saya hanyalah seorang anak yang baru bertransform menjadi Ibu.
  
*nak mule keto (bahasa Bali): memang begitulah adanya
Biasa digunakan untuk menjawab pertanyaan yang tidak ada atau tidak diketahui jawabannya. Kadang-kadang dipakai untuk menjawab yang seharusnya tidak usah dipertanyakan.

9 jam setelah melahirkan

Kamis, 25 November 2010

Shetha dan Kado Ulang Tahun Ibu

Tanggal 28 Oktober lalu Ibu saya berulang Tahun.  Ingin sekali rasanya bisa memberikan sesuatu yang bermakna untuk beliau. Mumpung sekarang saya sudah bekerja, saya bisa membeli sesuatu yang jadi kesukaan Ibu.
Saya bukanlah orang yang romantis, jarang memberi kejutan, termasuk dengan keluarga sendiri. Bahkan untuk memberi kado Ibu, saya merasa perlu untuk menelepon terlebih dahulu apa yang beliau inginkan (anak yang menyebalkan, bukan?)
Saya pikir karena domisili saya yang sangat jauh dari orang tua, saya akhirnya memutuskan untuk mengirimkan sesuatu yang menjadi ciri khas kota domisili saya sekarang. Empek-empek Palembang (kebetulan Ibu sangat suka), coklat Van Houten, dompet bermerk favoritnya biarpun tidak semahal aslinya (bisa dibunuh Bapak kalau saya menghabiskan ratusan bahkan jutaan rupiah hanya demi sebuah dompet yang belum tentu nilai isinya lebih besar dari harganya), juga Kamus Inggris-Indonesia tebal untuk Adik saya. Kebetulan Adik saya berulang tahun 3 hari setelah hari ulang tahun Ibu, dan memang Kamus itulah satu-satunya hal yang diinginkannya.
Sebelumnya dalam percakapan telepon, Ibu tidak meminta apa-apa. Beliau hanya menginginkan saya untuk hemat. Untuk menabung. Keluarga sedang dalam ekonomi sulit. Lagipula siapa tahu nanti ada keperluan mendadak. Dalam percakapan telepon itu juga, saya sempat berbicara dengan Adik paling bungsu. Masih SD, Shetha namanya.
Begini kira-kira potongan pembicaran kami;
Saya: “Halo Shetha, lagi ngapain?”
Shetha: “Lagi nonton tipi. Kak Titi kapan ke sini?”
Saya: “Mungkin tahun depan. O iya, bentar lagi kan ibuk ulang tahun, kamu ngasi kado apa?
Shetha: “Aku belum bisa ngasi. Aku ga punya uang. Aku ngasi ucapan selamet aja.”
Saya: “Lho, emang ngasi kado harus punya uang dulu?”
Shetha: “Emang bisa kalo ga punya uang?”
Saya: “Bisa…. Dulu pas Titi seumuran kamu, Titi nabung tiap hari, biarpun cuma bisa seratus perak. Dulu Titi cuma bisa beliin Ibu susu anget ama cokelat kesukaannya. Pake nyalain lilin batangan, trus ucapin deh, selamet ulang tahun. Yang penting niat.”
Shetha: “Oo, kayak gitu ya? Iya deh, nanti aku coba.”
(Kalimat terakhirnya terdengar bersemangat sekali).
Saya tahu persis bagaimana Shetha dengan masa kecilnya. Tak jarang dia menunjukkan sikap lebih dewasa dari saya, dari kakak-kakaknya bahkan dari orangtuanya sendiri. Ya, itu Shetha, adik kebanggaan satu-satunya yang sering dibanding-bandingkan dengan saya yang kata orang sudah sukses di rantauan tapi masih begini-begini saja.. Shetha yang berhasil meyakinkan orangtua dengan calon suami Saudari saya. Shetha yang berhasil mencairkan suasana rumah yang semakin hari semakin membeku bahkan hampir hilang kepercayaan masing-masing penghuninya. Shetha yang berhasil membuat seorang anak berbibir sumbing mau kembali ke sekolah setelah mengalami trauma panjang dengan cemooh teman-temannya. Shetha yang justru melindungi temannya setelah temannya itu memukulinya sampai berdarah. Shetha yang sering menolak pemberian kue kecil dari tetangga dengan alasan tetangga itu masih memiliki anak kecil yang menurutnya lebih pantas diperhatikan. Shetha yang berhasil membujuk Bapak dengan segala cara untuk tidak menghisap rokok lagi (saya ingat betul bagaimana dia meninggalkan layang-layangnya dan berlari sambil ngamuk-ngamuk mengejar Bapak yang ketahuan membeli sebatang rokok di warung. Shetha yang sering dibilang bodoh oleh orang-orang termasuk gurunya sendiri, padahal buat saya kecerdasannya melebihi siapapun. Semakin hari saya melihat perkembangan dan pertumbuhan pola pikirnya, semakin malu hati ini dibuatnya. Tidak sebanding rasanya jika semua cerita tentang kehidupan saya selalu dibesar-besarkan oleh Ibu. Ibu ingin Shetha punya teladan, punya contoh supaya tetap semangat dalam hidupnya. Dan memang itulah yang terjadi. Shetha selalu menjadikan saya sebagai sosok kakak yang harus ia contoh. Dan buat saya beban itu terlalu berat. Saya jauh dari sempurna. Bahkan tanpa seorangpun tahu, kadang saya menangis sendirian mengingat keburukan kekotoran, dan kebodohan saya yang selalu saya tutupi dengan senyuman dan kesabaran.
Dan sudah menjadi kebiasaan kami kakak-kakaknya, yang lupa bahwa Shetha hanyalah anak kecil. Dia hanyalah anak SD yang baru masuk kemarin. Kami lupa bahwa perbedaan usia antara kami dan Shetha terpaut belasan tahun. Kadang kami membebaninya terlalu berat. Dia terpaksa harus mengerti kondisi keluarga sementara mengesampingkan kebutuhannya sebagai anak-anak. Bermain-main dan memperoleh kasih sayang.
Beberapa hari setelah itu terdengar kabar dari Saudari perempuan saya, tentang tingkah adik semata wayang kami itu.
Kakak: “Eh Tri, udah tau belum, ceritanya Shetha di sekolahnya? Nangis, dia.”
Saya: “Emang kenapa dia? Berantem?”
Kakak: “Gini ceritanya, hari Kamis lalu(tanggal 28 Oktober), dia dapet pelajaran Budi Pekerti di kelasnya. Entah apa yang ada di kepala anak itu, pas Bu Gurunya nyeritain tentang kasih sayang seorang Ibu, pengorbanan Ibu, bagaimana seorang anak harus menghormati ibunya, eh,.. dianya nangis. Mukanya ditelungkupkan ke meja. Sesenggukan. Temen-temennya sampe ngerubungi, bu Gurunya juga. Semua pada nanya kenapa dia nangis. Sambil sesenggukan, Shetha bilang kalo dia inget ibunya di rumah. Dia bilang kalau dia ga bisa jadi anak yg berbakti, bahkan udah berusaha semampu dia, tapi tetap ga bisa ngasi apapun ke Ibuk. Padahal hari ini ulang tahunnya Ibuk. Dia cerita tentang kondisinya di rumah, tentang ibuk, tentang keadaan rumah, tentang keluarga kita. Ceritanya dia bikin temen-temennya terenyuh. Tanpa dikomando sama siapapun, semua temen sekelasnya berinisiatif keluar kelas saat itu juga buat nyariin Shetha bunga mawar. Shetha dikasi dua tangkai. Satu untuk Ibuk, satu untuk Shetha. Temen-temen sekelasnya juga nyumbang duit buat Shetha demi bisa beli sesuatu buat Ibuk. Dan sepulang dari pelajaran Budi Pekerti itu, satu kelasnya Shetha berbondong-bondong ke rumah, nganterin Shetha sekalian pengen nyari Ibuk. Yang jelas Ibuk kaget. Temen-temennya nyanyi lagu Selamat Ulang Tahun trus ngucapin doa satu-satu ke Ibu. Kalo dipikir-pikir lucu ya, Tri.. kok bisa ya dia punya pikiran gitu. Sementara dia sendiri ga terlalu mikirin perayaan ulang tahunnya sendiri. Biasanya anak laki-laki kan jarang punya tingkat emosional kayak gitu..”
Saat itu dengan telepon masih nempel di kuping, air mata saya bercucuran. Bukan kebiasaan keluarga kami untuk menunjukkan sikap berlebay-lebay seperti ini. Keluarga kami tergolong jaim. Cuek. Jauh dari nilai kekeluargaan seperti di sinetron keluarga Cemara. Dengan suara tertahan saya masih melanjutkan percakapan.
Saya: “Itu beneran Shetanya kita kan? Bukan cerita karanganmu? Hahaha, ada-ada aja……………….

Jumat, 29 Oktober 2010

Cinta dan Tuhan itu Satu

Saat aku memutuskan untuk mencintaimu, aku dihadapkan pada ratusan konsekuensi yang harus aku terima, ikhlas atau tidak...

Kata mereka kita terlalu berbeda. Sangat berbeda. Bukan cuma agama, tapi juga adat, kebiasaan, pola pikir,  hidup, bahkan cara kita menikmati cinta itu sendiri..

Dan dengan sombongnya kita bilang kita bisa. Dengan gaya anak muda zaman 'saat itu' yang idealis, kita bilang kita akan terbiasa. Dengan dalih menghargai keberagaman kita, kita bilang ini bukanlah apa-apa. Mungkin tepatnya belum apa-apa. Entah apa yang membuatNya menginginkan kita jatuh cinta..

Sampai detik ini aku bersamamu, lukisan diri kita menjadi semakin kontras. Semakin tegas warna perbedaan menciptakan bayang-bayang. Akan selalu ada masa penyesuaian sampai kita benar-benar menghancurkan jurang pembatas yang diciptakan Sang Pencipta. Aku mengikuti pola hidupmu, atau kamu menjadi apa yang aku mau. Aku mengikuti adat nenek moyangmu, atau pola pikirmu keracunan pola pikirku. Kita selalu mencoba menyesuaikan masing-masing dengan bayangan cermin dalam kepala kita. Bukankah cermin yang harus menyesuaikan bentuknya agar mirip seperti kita apa adanya?  Entahlah, penyesuaian ini tak akan ada akhirnya. Sesungguhnya inti dari hubungan ini bukanlah menghancurkan perbedaan, tapi menerima kenyataan bahwa kita memang begini adanya. Sampai kapanpun, sayang.. sanggupkah kamu?

Ketika aku akan memulai penyesuaian yang paling membutuhkan ruang privasi sekaligus empati, sempat terpikir dalam benakku, tepatkah menempatkan kamu sebagai yang terakhir? Menempatkan dirimu menjadi imam bagiku sebagai mualaf kelak? Itupun belum menyelesaikan sebagian masalah. Kita belum selesai membangun jembatan untuk melewati jurang yang lain, jurang adat, sosial, keluarga, pola hidup, dan jurang-jurang lainnya. Walaupun selama ini aku bilang aku baik-baik saja, but there's a little pain behind "I'm okay", and there's a little "I need u" behind "leave me alone"..

Untuk satu konsekuensi yang membuatku kehilangan beberapa sahabat, seharusnya kamu tidak pergi dan membiarkanku mencariNya seorang diri. Bukan hanya untuk kali pertama, tapi untuk seterusnya, aku ingin berjalan seiring. Bukan digiring.

Sanggupkah kamu menjadi seperti itu, sayang?
Mungkin kita akan meninggalkan kebiasaan kita masing-masing. Kebiasaan duduk bersama, yang dalam tiap shalatmu ada namaku, begitu juga aku yang dalam tiap Tri Sandhya aku tak lupa menyebutkan namamu. Ya, kamu sebagai salah satu dari orang-orang terkasih yang kuselimuti selalu dengan doa agar senantiasa diberi keselamatan baik dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Tuhan, kata orang bijak Kau cuma ada satu. Karena perbedaan kami menyebut dan bersembahyang kepadaMu, sampai hatikah bila doa-doaku tak Kau sampaikan padanya?

Aku menunggu, Tuhan..

Palembang, 29 Oktober 2010

Senin, 25 Oktober 2010

K O P I

Saya bukan coffeeholic. Tapi tiap kali minum kopi, saya menikmati semua rasa yang ditimbulkannya. Gemetar, berdebar, atau mual.

Saya ingat pertama kali minum kopi saat masih kecil. Bapak ketika itu mengajak saya pulang kampung, pergi ke rumah kakek dengan jarak tempuh satu jam naik sepeda motor. Kecepatan bapak-bapak tentunya. Kalau dibandingkan dengan kecepatan sepeda motor kakak saya yang laki-laki mungkin bisa didapat selisih waktu tiga puluh menit.


Saat kecil saya gampang sekali tertidur kalau kena angin, dan itu sering sekali membuat Beliau marah. Anak kecil mana yang tidak tertidur kalau diangini selama satu jam? Saking seringnya saya tertidur diatas kendaraan, Bapak sering berhenti di jalan untuk membelikan saya kopi pekat dan kue-kue yang membuat saya selalu senang. Dari situlah Kopi dan Saya berkenalan. Karena dijodohin Bapak.


Saya paling gampang terpengaruh oleh kopi. Ada rasa gembira yang luar biasa yang saya rasakan sehabis minum kopi. Ketika merasa sepi, penat atau jenuh, pelarian saya pasti ke kopi. Biasanya beberapa menit setelah cangkir kopi tandas, yang paling pertama terasa diaduk-aduk adalah uluhati, lalu (sepertinya) ke jantung. Karena detak jantung serasa makin keras, sampai terasa ke kulit-kulit, ujung jemari bergetar halus, yang membuat saya tidak bisa diam. Rasanya ingin teriak, atau menelan sesuatu. Tangan ini ingin selalu terkepal. Dan di saat seperti ini saya harus mengerjakan sesuatu. Harus mencari sesuatu demi mengimbangi sensasi yang saya rasakan. Biasanya mengetik adalah kegiatan yang pas. Saya belum pernah tanya teman atau searching d internet, benarkah efek kopi itu seperti ini? Menyenangkan, bikin gila, dan kadang menegangkan. Demi rasa yang berdebar-debar itu, saya rela gemetaran, saya rela sakit perut atau mual-mual. Demi mencari sensasi caffein.

Atau demi sensasi memori masa kecil? :)

Palembang, 25 Oktober 2010

Kamis, 02 September 2010

Duri

Sekali lagi

Menara yang sudah dibangun tinggi ini harus roboh.

Menara yang tinggi karena fondasi mimpi yang terlalu kuat
Bahkan terkesan muluk

Tahukah kamu bahwa aku menyelipkan satu rasa lagi dalam fondasi ini?

Yang terpaksa harus kucabut kembali dan membuat semuanya
roboh sia-sia ketika kau menyulapnya menjadi duri.

Aku tak kan minta maaf karena aku lebih mencintai diri sendiri
biarlah duri itu terbang ditelan angin
dan luka ini berbuah nanah
agar baunya menusuk hingga tepat ke jantungmu
karena senjata tak ada padaku untuk membalas kasihmu

Jangan ajukan satu pertanyaanpun padaku,
dan jangan sekali-kali kamu membela diri
toh menara ini sudah rata dengan bumi

Seperti kamu ketahui, pencarianku sudah usai
bukan karena menemukan apa yang aku cari
tapi karena aku lelah mencaci

Aku akan anggap ini semua permainan hati
kini, dan nanti.


Palembang, 3 September 2010